Jumat, 06 April 2012

Catatan dari FRESH I: Subsidi BBM - Madu atau Candu Bagi Perekonomian Indonesia?


Diskusi FRESH perdana ini menampilkan Sdr. Rahadian Zulfadin sebagai narasumber. Beliau adalah Phd Candidate dari La Trobe University dan pegawai pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI.

Dalam paparannya, Rahadian menyampaikan bahwa kebijakan untuk mengurangi subsidi pada dasarnya berpijak pada kondisi bahwa Indonesia sejak tahun 2003 telah menjadi net importer minyak. Trend ke depan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi BBM semakin meningkat sedangkan produksi minyak justru trend-nya justru menurun. Akibat harga yang murah, konsumsi BBM dalam negeri selalu melebihi target. Disisi lain, akibat investasi pemerintah di sektor energi yang justru menurun, maka target produksi minyak seringkali gagal dipenuhi.

Sebagai pengimpor minyak, maka fluktuasi harga minyak internasional menjadi faktor penting bagi perekonomian nasional. Ketika harga minyak dunia meroket, subsidi energi, BBM dan listrik pun membengkak. Kondisi ini menyebabkan postur APBN menjadi tidak sehat karena alokasi dana pembangunan habis oleh pengeluaran yang bersifat konsumtif. Padahal subsidi BBM ini lebih banyak dinikmati masyarakat tidak miskinm terutama yang tinggal di perkotaan.

Dari perspektif ekonomi, pembatasan BBM ini sebetulnya tidak menimbulkan pro kontra yang tajam. Polemik terjadi saat perspektif sosial, politik dan etik masuk dalam pertimbangan. Perspektif sosial terutama terkait dampak tehadap rumah tangga miskin (misalnya program kompensasi, masalah miss-targeted dan produktivitas masyarakat). Perspektif politik terutama terkait kondisi politik menjelang 2014. Sedangkan perspektif etik terkait perbandingan antara pencabutan subsidi, postur belanja pegawai yang cukup besar, serta kebocoran APBN.

Ada pomeo bahwa The devil is in the details. Ini juga berlaku dalam kasus subdidi BBM. Sulitnya mengukur dampak kenaikan harga BBM dalam negeri dikarenakan masalah data dan model, terutama terkait inflasi dan pengaruhnya terhadap rumah tangga miskin. Misalnya perdebatan hasil analisis,model LPEM versus model IPB di tahun 2005, yang menyajikan hasil yang berbeda. Namun demikian, banyak analis memprediksi dampak kenaikan BBM pada tahun 2012 terhadap keluarga miskin tidak akan sebesar tahun 2005. Hal ini karena pada tahun 2005 penggunaan minyak tanah masih besar. Pada saat ini sebagian besar rakyat miskin menggunakan gas LPG atau kayu bakar untuk memasak.

Titik krusial lainnya adalah program kompensasi untuk rakyat miskin. Program kompensasi ini harus bisa dilaksanakan secara cepat, tepat, cukup, mudah dan aman. Berdasarkan pengalaman program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2005, ditenggarai tidak tepat sasaran atau dikorupsi oleh aparat pelaksana baik di pusat maupun di daerah. Walaupun begitu, tingkat kebocoran BLT di Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan program serupa di Negara-negara lain. Untuk tahun 2012, salah satu Program kompensasi dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM) sebagai pengganti BLT. Jumlah penerima BLSM sebanyak 18.5 juta rumah tangga miskin (sekitar 30% penduduk termiskin dari seluruh populasi).

Selain itu,Pemerintah mengklaim bahwa database penerima BLSM lebih baik dari sebelumnya, dalam arti metode identifikasi penduduk miskin yang lebih baik. Penetapan 30% rumah tangga berpenghasilan terendah ini berdasarkan hasil survei Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011. PPLS menghasilkan data komprehensif dan detail berupa daftar nama 40% rumah tangga berpenghasilan terendah di Indonesia, lengkap dengan alamat lengkapnya. PPLS dipercaya dapat menghasilkan data yang lebih baik dari survei sebelumnya karena menggunakan hasil Sensus Penduduk 2010 sebagai informasi awal mengenai penghasilan sebuah rumah tangga.

Dalam diskusi yang berkembang dalam forum ini, terdapat beberapa aspek yang belum ditangani secara optimal sehingga resistensi terhadap rencana pengurangan subsidi BBM masih kuat. Misalnya  dari sisi produksi, dipertanyakan sejauh mana keterbukaan informasi mengenai produksi minyak pertamina dan para operator asing. Apakah sudah adil dan effisien? Dari sisi alokasi anggaran APBN, dipertanyakan apakah Pemerintah sudah melakukan upaya penghematan secara optimal untuk menghindari opsi kenaikan BBM? Selain itu dari sisi politik, masyarakat masih mencurigai adanya usaha dari partai penguasa untuk memanfaatkan isu BBM untuk kepentingan pilplres 2014. Terkait dengan hal ini, timbul juga pertanyaan apakah data-data yang dilansir oleh Pemerintah sudah akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan:
Tidak ada kebijakan publik yang dapat menyenangkan setiap orang. Selalu ada pro-kontra. Kebijakan publik tidak punya laboratorium untuk menguji coba sebelum diterapkan. Belajar dari sejarah merupakan satu-satunya eksperimen untuk kebijakan publik. Kenaikan harga BBM dalam negeri diatur dalam Peraturan Presiden dan APBN. APBN merupakan dokumen politik, produk bersama dari pemerintah dan DPR. Dengan demikian Pemerintah harus bisa meyakinkan anggota DPR dan masyarakat umum mengenai alasan, tujuan, serta manfaat kebijakan pembatasan subsidi BBM. Sumber utama penolakan dari masyarakat pada dasarnya adalah tingkat kepercayaan kepada pemerintah (serta DPR) yang rendah. Oleh karena itu, peserta forum ini mengusulkan agar Pemerintah dapat memperbaiki cara dan metode komunikasi dengan lebih baik. Karena walaupun program ini sangat baik, namun jika tidak dapat dikomunikan secara baik hasilnya, belum tentu hasilnya akan baik. Selain itu juga pemerintah dan DPR dapat menunjukkan kesungguhan untuk melakukan penghematan pada anggaran belanja lainnya dalam APBN. Dan terakhir, partai berkuasa harus bisa membuktikan bahwa tidak ada agenda tersembunyi dari kebijakan pemberian dana kompesasi BBM untuk kepentingan Pilpres 2014.

Notulis: kangdeni[at]yahoo.com

Catatan Tambahan dari Penulis:

Cadangan Minyak Indonesia: Indonesia kaya minyak? Dengan tingkat produksi saat ini, tanpa ada penemuan sumber minyak baru, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam waktu kurang dari 11 tahun. 

Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia 1965-2011



Investasi Bidang Energi:
Nilai investasi untuk infrastruktur turun drastis sejak krisis 1997, dari 7% menjadi 4% dari PDB. Penurunan terbesar dialami infrastruktur sektor energi, dari sekitar 4% PDB menjadi sekitar 1% atau bahkan kurang sejak tahun 2000. Penurunan nilai investasi terutama yg bersumber dari BUMN dan APBN. Saat ini APBN semakin tersandera subsidi, sulit membiayai infrastruktur. Masih ada harapan dari BUMN..., jika bisa dikelola dengan baik.
Harga minyak dunia yang cenderung tinggi dan tidak stabil, rendahnya investasi di infrastruktur sektor energi, cadangan minyak terbukti di dalam negeri yang semakin sedikit, ujungnya adalah yang saat ini sedang ramai, kontroversi subsidi BBM. (Di luar faktor politik, yang mungkin justru paling besar pengaruhnya). Pangkalnya memang kebijakan energi nasional yang buruk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar